Bacalah ilustrasi teks 2.1 di bawah ini!
Konflik Rempang
Perhatian rakyat
Indonesia saat ini sedang tertuju pada konflik agraria yang terjadi di Rempang
yang warganya menolak direlokasi demi pembangunan Rempang Eco-City. Masyarakat
Rempang telah mengetahui adanya rencana proyek ini sejak tahun 2007. Proyek ini
melibatkan PT MEG Group Artha Graha milik Tommy Winata, serta investor dari
Singapura dan Malaysia. PT MEG mendapatkan hak pengelolaan dan pengembangan
kawasan tersebut selama 30 tahun yang dapat diperpanjang hingga 80 tahun.
Kemudian pada
Juli 2023, Pemerintah juga menandatangani nota kesepahaman dengan Xinyi Group
dari Cina untuk pembangunan pabrik kaca dan solar panel di pulau Rempang,
sebagai bagian dari konsep Rempang Eco-City dengan nilai proyek sebesar 11, 5
miliar USD.
Proyek yang
diperkirakan mampu menarik investasi sebesar Rp 318 triliun dan masuk ke dalam
Program Strategis Nasional ini akan menggusur 16 kampung tua yang berada di
lingkungan proyek. Padahal, warga setempat telah tinggal secara turun-temurun
di lokasi tersebut. Warga Rempang yang menolak rencana ini melakukan aksi
demonstrasi di Kota Batam yang berujung terjadinya bentrokan dengan aparat
keamanan yang bertindak represif.
Apa yang terjadi
di Rempang ini bukanlah yang pertama, namun sudah kesekian kalinya terjadi di
Indonesia. Warga yang terdampak penggusuran dipaksa meninggalkan rumahnya,
terkadang tanpa ada solusi yang jelas. Dalam kasus Rempang, tidak ada kejelasan
perihal ganti rugi, hunian baru dan tempat relokasi, karena warga Rempang
dianggap sebagai warga liar karena tidak memiliki sertifikat tanah.
Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ibnu Sina
Chandranegara, MH., menjelaskan konteks permasalahan yang terjadi dalam kasus
Rempang. Ia menyoroti perlakuan Pemerintah yang melabeli warga Rempang sebagai
warga liar karena tidak mempunyai sertifikat.
Berdasarkan ilustrasi 2.1 dampak
negatif yang ditimbulkan dari konflik Rempang adalah...