Dahulu, di kaki Gunung Tinjau, Sumatera Barat, hiduplah beberapa kumpulan keluarga yang disebut Kaum Datuk Limbatang. Sesuai dengan namanya, kaum tersebut dipimpin olehDatuk Limbatang. Ada sebuah keluarga dari Kaum Datuk Limbatang yang mempunyai sepuluh orang anak. Oleh penduduk sekitar, sembilan anak laki-laki dari keluarga tersebut (yang bernama Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan Kaciak) disebut Bujang Sembilan. Adapun satu orang anak perempuannya yang bernama Siti Rasani, biasa dipanggil Sani.
Malam itu, Bujang Sembilan dan adiknya Sani, duduk mengelilingi ibunya yang terbaring sakit. Sebelum maut menjemput, ibunya memnta agar mereka semua dapat hidup rukun. Kukuban sebagai anak tertua diminta untuk menjaga adik-adiknya. Ibunya juga berpesan agar mereka dapat menjaga dan menyayangi Siti Rasani.
Kini, sepuluh orang bersaudara itu tak memiliki ayah dan ibu. Mereka yatim piatu. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Kukuban dipercaya menjadi kepala rumah tangga. Sebagai anak sulung, Kukuban bertanggung jawab atas kelangsungan hidup adik-adiknya. Setiap hari, ia mengajak delapan adik laki-lakinya mengerjakan sawah dan ladang. Sementara, Siti Rasani diminta tetap tinggal untuk mengurus rumah dan memasak.
Saat orang tuanya masih hidup, Bujang Sembilan terbiasa membantu ayahnya bersawah dan berkebun. Mereka juga banyak mendapatkan bimbingan dari Datuk Limbatang. Di sawah, mereka terampil dalam mengolah tanah. Saat di ladang, mereka terampil menakik getah, memanjat pohon, dan menanam sayur-sayuran. Sawah dan ladang mereka selalu menghasilkan panen yang melimpah. Semuanya itu berkat keuletan mereka. Di samping rajin bekerja dan taat beribadah, mereka juga selalu patuh pada aturan.
Dikutip dari
https://labbineka.kemdikbud.go.id/files/upload/PHRWMPAT_1572331774.pdf berjudul Asal-Usul Danau Maninjau dengan penyesuaian