A. PENDIDIDKAN KH. MAS MANSUR
Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah ibnu Malik kepada Kiai Khalil. Kurang lebih dua tahun, Kiai Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur pulang ke Surabaya.
Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Mas Mansur memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia. Lalu ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Di samping menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah.
Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI. Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan bernama Soeara Santri.
.